KOTA KUDUS
Orang biasanya mengenal Kota Kudus sebagai
Kota Kretek dengan PT Djarum sebagai pabrik yang terbesar dan diikuti oleh
pabrik-pabrik rokok lainnya. Namun lebih dari itu, Kota Kudus menyimpan sejarah
panjang yang menjadi goresan tinta sejarah peradaban.
Karena terletak di jalur Pantura yang merupakan jalur
perdagangan yang vital, kurang lebih 53 km dari Semarang atau sekitar 45 menit
lewat perjalanan darat dari Kota Semarang menjadikan Kota Kudus sebagai daerah
tujuan dagang dan wisata yang menarik untuk dikunjungi.
Nama Kudus sendiri berasal dari bahasa Arab al-Quds yang
berarti suci, konon Kudus satu-satunya kota di Jawa yang mengadopsi namanya
dari bahasa Arab. Walaupun karakter Islam sangat kuat di Kudus, namun pengaruh
Hindu masih tetap berlaku, misalnya dilarang menyembelih sapi di dalam wilayah
Kota Kudus. Penyebar Islam pertama di Kudus yang bernama Ja’far Shadiq atau
lebih dikenal dengan Sunan Kudus mengetahui bahwa sapi adalah binatang suci
Umat Hindu.
Kali Gelis yang mengalir ditengah Kota Kudus membagi wilayah
menjadi dua bagian yaitu Kudus Kulon ( Barat ) dan Kudus Wetan ( timur ). Pada
masa lampau, wilayah Kudus Kulon didiami oleh para pengusaha, pedagang, petani
dan ulama, sedangkan Kudus Wetan dihuni oleh para priyayi, cendikiawan, guru-guru,
bangsawan dan kerabat ningrat.Dalam perkembangannya ternyata Kudus Kulon lebih
maju. Kota Kudus memiliki beberapa ciri khas yaitu :
Tradisi Dandangan
Salah satu kebudayaan
kota kudus yang rutin diadakan setiap tahun adalah dandangan. Dandangan
diadakan setiap kali menjelang bulan Ramadan tiba, umat Islam di kabupaten
Kudus, Jawa Tengah dan sekitarnya menyambutnya dengan suka cita. Momentum
kehadiran bulan Ramadan menjadi sesuatu yang istimewa, sebab terdapat tradisi
Dandangan sebagai penanda masuknya bulan Ramadan. Tradisi ini sudah turun
temurun atas warisan dari Sayyid Ja’far Sodiq atau yang sering dikenal dengan
sebutan Sunan Kudus.
Tradisi
Dandangan sudah berlangsung ratusan tahun. Dahulu, tradisi ini bermula pada
saat masyarakat mendatangi masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman
dari sesepuh masjid mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa Ramadan.
Pengumuman diawali dengan permulaan menabuh beduk yang diterpasang Menara, lalu
beduk tersebut kedengarannya menimbulkan suara “dhang…dhang..dhang”. Bunyi beduk
itulah yang memunculkan kata dhandhang, sehingga kebiasaan
tersebut dikenal dengan tradisi Dandangan.
Zaman
terus berkembang, kini tradisi Dandangan tidak hanya sebatas menunggu beduk
Menara Kudus ditabuhkan menjelang bulan Ramadan. Namun sudah menjelma menjadi
tradisi atau dengan istilah lain yakni event yang tidak hanya dimiliki
oleh masyarakat muslim saja, tetapi masyarakat non-muslim juga menyambutnya
dengan suka cita.
Tari Kretek Khas Kudus
Tari kretek kini menjadi ikon baru di Kudus, karena kini
banyak acara atau ivent-ivent di Kudus sering menampilkan Tari kretek. Aku
sendiri Juga baru mengenal tari kretek namun rasanya aku patut bangga karena
Kudus terus menampilkan keunikan budaya tarinya yang menggambarkan proses
produksi rokok kretek ini sangatlah unik.
Beberapa waktu yang lalu Tari kretek berhasil meraih juara ke
tiga tingkat Jawa tengah.
Tentunya hal ini akan
mebuat Tari kretek di kenal luas oleh masyarakat. Nah semoga Tari kretek ini
akan membuat Kudus di kenal lebih oleh kota-kota lain akan budayanya. Dan
semoga tidak hanya tari kretek ,kreasi keunikan masyarakat Kudus terus
bermunculan, agar menambah citra yang positif bagi Kota Kudus dan tentunya
bangsa Indonesia
Masjid Menara Kudus
Masjid Kudus dikenal oleh masyarakat karena bentuk arsitektur
masjid yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dan Hindu. Masjid yang
dibangun pada tahun 1549 oleh Ja’far Shadiq memang memilki pesona yang luar
biasa. Menara yang terbuat dari bata merah yang aslinya adalah menara
peninggalan Hindu yang digunakan sebagai tempat pembakaran mayat para raja dan
kaum bangsawan, namun sebagian lain menganggap bahwa menara tersebut adalah
menara pengawas dari sebuah rumah ibadat agama Hindu sebelum diubah
menjadi masjid.
Menara masjid ini berbentuk seperti Candi Singasari atau Bale
Kul-Kul di Bali, sisa peninggalan dari Zaman Hindu yang telah beralih fungsi.
Tinggi menara ini kira-kira 17 m dan telah berusia tujuh abad. Bangunan menara
terbagi tiga yaitu kaki, badan, dan puncak bangunan. Masjid Kudus tetap
mempertahankan bentuk aslinya walaupun telah mengalami beberapa kali pemugaran.
Keunikan lain di serambi masjid terdapat sebuah Candi Bentar, penduduk
menyebutnya Lawang Kembar yang konon berasal dari Majapahit.
Di belakang masjid adalah makam Ja’far Shadiq dan para
pengikutnya yang menempati tanah dua kali lebih luas dari ukuran masjid
tersebut. Seperti bentuk gapura depan, memasuki areal taman pemakaman pun yang
sudah berumur ratusan tahun tetap cantik dan menarik. Dengan bergaya arsitek
Hindu, masing – masing makam tersusun dengan rapi dan dibuat cluster sesuai
dengan pangkatnya. Dari golongan prajurit yang paling rendah sampai dengan
makam Ja’far Shadiq sendiri yang bertempat di tengah-tengah diantara semua para
punggawanya.
Setiap hari selalu saja masjid ini ramai dikunjungi oleh para
pengunjung, baik yang hanya sekedar ingin melihat-lihat arsitek bangunan yang
unik, maupun yang ingin berziarah ke makam Ja’far Sadiq ( Sunan Kudus ). Selama
acara Buka Luwur, yang diadakan tiap tanggal 10 Muharram, tirai yang terdapat
di makam ini diganti dan pada saat seperti ini ribuan peziarah akan memadati
kawasan makam. Apalagi lokasinya yang terletak di pusat Kota Kudus menjadikan
tempat ini sangat mudah diakses, baik dengan kendaraan umum maupun kendaraan
pribadi
Soto Kudus
Soto
kudus adalah soto yang berasal dari Kudus. Soto
kudus, hampir mirip dengan soto
Lamongan, soto kudus berisi suwiran ayam dan taoge.Terkadang
soto kudus juga menggunakan daging kerbau.
Kuahnya lebih bening.
Soto
kudus dalam penyajiannya memiliki tradisi dihidangkan dalam mangkuk kecil untuk
satu porsi soto. Persis dengan soto lainnya, soto kudus
ditemani sambal dan jeruk nipis. Hidangan soto Kudus tidak hanya
dapat ditemukan di Kudus, saat
ini juga dapat ditemui di berbagai kota di Indonesia.
Soto
kudus tidak ada yang menggunakan daging sapi karena penghormatan muslim Kudus
terhadap agama Hindu, yang
mana sapi adalah hewan yang mereka anggap suci. Namun hal ini hanya sebatas
anjuran yang berasal dari Sunan
Kudus. Dia mengajari Orang Islam untuk menghargai
agama lain, khususnya agama Hindu.Ini disebabkan ketika itu di Kudus banyak
orang yang memeluk agama Hindu. Hal ini merupakan bentuk toleransi yang
telah diajarkan oleh Sunan
Kudus pada pemeluk agama Islam yang
tinggal di daerah Kudus. Budaya itu pun
masih berlaku sampai sekarang
Jenang
Kudus
Jika Garut terkenal dengan dodol, maka di
Kudus kita mengenal panganan serupa dengan nama jenang. Jenang adalah makanan
khas kota berjuluk Kota Kretek.
Berbahan dasar tepung beras ketan, gula
pasir, gula kelapa, santan, dan lemak nabati, jenang memiliki rasa manis.
Makanan dengan tekstur kenyal ini juga memiliki aneka varian rasa, seperti
coklat, susu, capuccino, mocca, durian, nangka, pandan, dan cocopandan.
Jenang biasanya disajikan dalam
potongan-potongan kecil, dibungkus dengan kertas plastik, dan dikemas dalam
sebuah dus. Bila berkunjung ke Kudus, tidak sulit menemukan makanan yang satu
ini. Jenang dengan mudah dapat kita jumpai di wilayah Kudus seperti misalnya di
sekitar area Menara Kudus.
Kalo mampir ke
kudus jangan lupa ya beli oleh-oleh khas kudus.
Sumber :
Sumber Gambar :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar